Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

CERPEN: "Ditarik Waktu" (Part of "Hai, Ge.")

     Segelintir keluhan senja yang mulai menyingsing mewarnai lelahnya sore yang jingga, segerombolan angin menyerbu ketika ku naikan kecepatan motorku seperti di arena balapan. Masih saja kumemikirkan kejadian yang barusan terjadi disekolah disaat aku berusaha memfokuskan pikiranku kesatu arah. Lagi-lagi lampu merah menyegatku dijalan, kali ini aku memandangi seseorang perempuan paruh baya keluar dari sebuah warung kecil dipinggir jalan, dengan tertatih-tatih ia berusaha menggendong kembali barang bawaannya ke atas punggungnya. PING!!! Tiba-tiba aku dikejutkan oleh bunyi notifikasi hapeku yang kutaruh di kantung motor sebelah kiri. Belum sempat mengambil, aku sudah diserang oleh bunyi-bunyi yang lebih memekakan telinganku dan cukup membuatku panik, DINN! DIN!! Kutancapkan gas dengan menggumam “Nyoh nyoh pek-en kui jalanmu”* *kutipan tersebut berbahasa jawa kasar yang artinya “Nih, nih ambil saja semua jalanmu”      Debur...

Hai, Ge. [Edisi Klarifikasi]

Hai, readers! Untuk pembaca setia "Hai, Ge" dari Part 1 sampe Part 8, saya disini selaku penulis sangat berterimakasih-sebesar-besarnya karna kalian sudah sangat setia membaca karangan tergajelas 2015 saat itu hahaha. Maaf kalo cerita "Hai, Ge [Part 8]" -nya belum ada lanjutannya. Karna berbagai kendala dan ketika saya menulis yg Part 9 saya selalu nangis, iya nangis. Cengeng kan. Ada suatu masalah yg harus diceritakan tp tidak untuk diceritakan [mikir keras]. Jadi, sebenernya setelah Part 8 , saya sudah memposting yg Part 9, tetapi karna saya gakuat, saya hapus lagi di blog ini. Hehehe. Dan sebenarnya lagi saya sudah menulis "Hai, Ge" sampe pada Part 13 tapi semua belum mau saya posting, ada yang harus saya edit. Lalu, saya memutuskan untuk hiatus hingga waktu yang belum ditentukan. TAPI Kalian bisa ko baca karangan-karangan tergajelas saya 2016. Yg isinya galau galau itu loh, postingan sebelum ini memang saya sedikit puitis. Ada banyak judul, yang p...

PULANG

Hanya aku dan kisah ini Malam selalu mengerti Ia terlihat lebih sendu Seakan selalu tau resahku Mereka yang berkata tak pernah pergi Berkhianat pada akhir kisah ini Ketika buku telah ditutup Dan rasa ini telah redup Ketika aku berusaha menulis akhir bahagia Tapi aku selalu kehabisan tinta Dan sisanya selalu kau bawa pergi Aku pun menyadari Kalau kisah ini telah habis Di kala sang fajar mulai mengaung Dan matahari enggan bangun Embun yang tidur seakan terbang Bersama mimpi hanya angan-angan Aku bersedia menunggu Untuk membuka kisah baru ... Saat aku setia menunggumu bersama senja Dan kau akan pulang membawa jingganya -Mutiah Eka Rani, 17th

KABAR ILALANG

Bagaimana kabar ilalang Yang sejak kini masih terikat dikursi perasaan Aku tau ia masih layu Ia berbisik kecil kepadaku "Aku bahagia" Kendati ia tersenyum lalu menarik nafas dalam Aku tau ia berusaha memperbaiki luka Gagak yang tak bertanggung jawab Datang dengan anarkis Pergi jauh meninggalkan amis Tidak kembali Wahai ilalang Bukan hanya dirimu Tapi kesedihanmu Pahitnya, kau lupakan kebahagiaan yg tersisa Demi mengumpulkan sebagian yang telah pergi Apa kau belum bisa menerima? Angin yang kau jumpai kini resah Melihatmu sedih tak tentu arah Ilalang.. Jangan diam disini Cabut akarmu lalu pergilah Selalu ada ladang Sebagai wadah untuk memulainya kembali [Teruntuk yang diam-diam memberi inspirasi, Ilmadinda Shalaza] -Mutiah Eka Rani, 17th

KOTA BERLANGIT JINGGA SAAT MALAM ENGGAN TIDUR

Dibelenggu siang yang mengasah penat Masih saja asap jail mengepul diatas kota Kota berlangit oranye saat malam ini tidak pernah tidur Rembulan pun tak nampak senyumnya Bintang memilih diam dibalik panggung tirai polutan kota Purnama kedua belas tidak pernah sesedih ini Tengah malam tidak berarti bagi sang pengantar tidur Tidak berlaku bagi piawai ekonomi kelas dunia Yang masih mengumpulkan setetes harta bagi keturunan selanjutnya Beton beton berdiri kokoh seakan tak pernah goyah Membuat kota ini semakin terlihat sempit Kota ini kaku Mahal akan budaya, seperti sudah hilang Semoga hanya di ibu kota Angin malam tak pernah kulihat sedingin ini Ia pilu, diracuni Tapi kota ini penuh sejarah Jika kau tanya angin malam disini Ia siap menyampaikan kisahnya Kisah yang ia lalui selama ribuan dekade Tak pernah ia mau berbohong Karena ia yang paling jujur dikota yang fana ini Penuh kecurangan Petinggi, atasan, hingga karyawan Selalu beradu seakan ini medan sang petarung ...

Kepada: Daun yang Gugur (Aku Ingin Bercerita)

Untuk daun yang gugur Kepada awan yang menutupi sirna Aku ingin bercerita Sudah kucoba bersikap biasa Tetapi setiap kali aku melihatnya Yang kulihat hanyalah kehancuran Terbuka kembali plester dihati Terputar kembali kenangan Yang sudah sengaja aku lupakan Karna hanya membuat aku sakit Wahai daun yang jatuh Kalau ia cinta Mengapa ia pergi Kalau ia sayang Mengapa ia tak bisa menerima kekuranganku Mungkin ia befikir ia telah sepenuhnya mengerti aku Tetapi belum Ia berkata ia selalu mengerti aku Tetapi belum Dengan semua sikap yang telah ia lakukan Apa bisa dibilang ia mengerti aku? Tidak. Tidak. Ia hanya membuat plester dihati terbuka Untuk kesekian kalinya Dulu kukira Ia datang untuk perbaiki luka Hingga saatnya ia hanya menggantungkan luka Ia tidak benar-benar bisa memperbaiki luka Hanya membuat hati ini semakin rapuh Biarkan waktu yang menghitung kemampuanku Melupakannya -Mutiah Eka Rani, 17th

KEMARIN DATANG

Baru kemarin datang Bersama senja terbitkan malam Ayah datang Hingga jari tak mampu berkutik Akan rindu yang mengusik Hingga tangis tak bisa menolong Membendung kantong hujan dimataku Ayah datang Seluruh waktuku hanya untuk ayah Karena itu jarang Hingga aku bisa melupakanku resahku Menggapai senangku Hingga akhir penghabisan waktu Ayah pergi Untuk kesekian kali Aku menangis Tubuhku bergetar tak mampu merasakan Sedih yang menyelimuti batinku Sedih yang menyelimuti fikiranku Sedih yang selalu datang mengusik-ku Hingga rindu ikut campur Ayah.. Aku selalu berdoa agar kau baik-baik saja Aku selalu berdoa agar aku bisa bertemu lagi untuk selamanya Selama-lamanya Ayah.. Aku masih rindu Cepatlah pulang -Mutiah Eka Rani, 17th

WAHAI PENGETUK

Siapa dirimu Yang berani mengetuk pintu hatiku Tunggu Masih layu Masih tertanam benih yang dulu Meskipun sudah membusuk Suara ketukanmu samar Seperti tak terdengar Denting yang dipukul Aku tak bisa mendengar Berikan aku sesuatu Yang bisa membuatku percaya Akan datangnya ketukanmu Aku mohon Jangan terlalu keras kau mengetuk Hingga membuatnya terluka lagi Rusak Kata sepadan Kaku Aku masih tak bisa merasakan apapun Membeku Mungkin tak kau bawa hangat bersamamu Izinkan aku istirahat sejenak Jangan ganggu hati ini dulu Maaf Apa yang kau lakukan Untukku mendengar suara ketukanmu Hingga kau buat hati ini rusak Lagi Maaf kau tak bisa merusak hati yang telah rusak Pergilah Jika kau hanya ingin mengambil Bagian dari kesenanganku Aku sudah banyak belajar Jangan kau bermain bersama pola pikirmu Aku lelah Kau tak mengerti Wahai pengetuk pintu hati Jangan sentuhkan jarimu kembali Kedasar ini -Mutiah Eka Rani, 17th

SAAT AKU MEMILIKIMU

Hari-hari terasa lama Saat aku bersamamu Menghitung langkah kakiku Menghitung hari-hari bersamamu Mengharapkan akhir yang bahagia Saat aku mencintaimu Hujan di pelupuk mata Menguras seluruh tenaga Andai hati masih pantas Untuk mengatakan jangan pergi Berharap agar langit tak goyah lagi Mamaku khawatir Tapi, sumpah aku baik-baik saja Baik-baik saja Kau berikan aku langit yang biru Dan kau juga yang merubahnya Menjadi langit berhujan Aku hidup dalam permainan pokermu Kau ubah aturan sesukamu Bertanya-tanya siapakah dirimu Yang kuajak bicara ditelfon malam itu Kasih Cerminan dirimu itu aku Tapi kini aku tahu kau tlah pergi Tidakkah kau pikir Apa yang aku rasakan Selama aku mencintaimu Gadis bertopeng anak kecil Menangis Sepanjang kepergianmu Harusnya kau tahu Mungkin egoisku yang patut disalahkan Atau mungkin dirimu Dan segala kegilaanmu Berikan cinta lalu mengambilnya kembali Dan kau tambahkan namaku Kedaftar orang yang tak mengertimu Aku men...

TERAKHIR

Kala itu masih kuingat ekspresi wajahmu Menyala dalam gelap jam 12 tengah malam Hari yang penuh dengan kegembiraan Kita jadikan hal yang tak pernah dilupakan Kita bersama air mata Kata-kata yang kau bisikkan Hanya kita yang tahu Kau bilang kau mencintaiku Lalu mengapa kau pergi Jauh Saat itu musim penghujan Aku benar benar teringat Aroma hujan Segar di trotoar depan sekolah Demi aku Kau rela bermain bersama hujan Tanggal dua puluh bulan maret Detak jantungmu Terlihat di dadamu Masih kurasa dekapanmu Kita sangat bahagia Tapi kini aku kan duduk di lantai Sambil menatap empat kuntum bunga layu Yang kutahu hanyalah Aku tak tahu caranya menjadi sesuatu yang kau rindukan Tak pernah kukira akan ada tawa terakhir bersamamu Sebelum semuanya benar benar hangus dan terbakar Rasa kecewa Tak pernah kubayangkan kita kan berakhir seperti ini Aku sungguh ingat Ayunan langkahmu Kehidupan remaja, yang kau pamerkan lagi Dan kualihkan tatapan mataku dan lalu Kau tarik ...