Bahasa yang digunakan ketika Penyebaran Agama Islam di Nusantara
Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya perihal bahasa yang dipakai
ketika menyebarkan ajaran Islam di wilayah Nusantara oleh para pendatang. Pertanyaan
ini bagi saya memang layak dipertanyakan karena beberapa dari kita tidak terlalu
memperdulikan tentang bahasa yang dipakai ketika menyebarkan ajaran Islam yang
mana pada saat itu Bahasa Indonesia belum ditetapkan menjadi bahasa resmi
bangsa Indonesia. Lalu, mereka berkomunikasi dan menyebarkan keyakinan mereka
dengan bahasa apa? Pertama, sebelum berkembangnya Islam di Nusantara, telah ada
terlebih dahulu yaitu penganut agama Hindu-Buddha yang masuk melalui jalur
perdagangan ke Nusantara dari India pada abad ke-4 dan ke-5 M. Bahasa yang
digunakan untuk menyebarkan agama Hindu-Buddha di Nusantara pada waktu itu
adalah bahasa Sansekerta. Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa
klasik India dan salah satu dari 23 bahasa resmi di India. Bahasa ini juga
memiliki status yang sama di Nepal.
Dalam sejarah, prasasti berbahasa Melayu pertama adalah Prasasti
Sojomerto peninggalan Kerajaan Mataram Hindu. Bahasa Melayu yang digunakan
adalah bahasa Melayu Kuna yang masih banyak kata serapan dari bahasa Sansekerta
dan menggunakan huruf Pallawa. Hal ini menandakan bahwa bahasa Melayu pada
zaman dulu juga dipakai pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Beberapa teori seperti
teori Brahmana, Waisya, Sudra, dan Ksatria menambah keakuratan perihal
penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara pada masa itu. Kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha mulai berdiri dari mulai kerajaan Kutai di Kalimantan Timur hingga
kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.
Setelah itu, masuklah Islam ke Nusantara sejalan dengan mundurnya
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Agama Islam sendiri sebagian besarnya dibawa
oleh para pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arab pada abad ke-13 M. Tujuan
mereka datang ke Nusantara adalah untuk berdagang, entah itu rempah-rempah,
kain, atau minyak. Para pedagang tersebut banyak yang menetap untuk menunggu angin
musim barat daya dan menjalin hubungan baik dengan raja-raja pada waktu itu
sekaligus untuk menyebarkan ajaran Islam di Indonesia. Beberapa dari mereka ada
yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia. Selain para pedagang,
penyebaran ajaran Islam juga dipengaruhi oleh para ulama dan para wali-sanga
diberbagai daerah di Indonesia. Dari sanalah mulai bercampurnya pemakaian
bahasa Melayu dan bahasa yang dibawa oleh para pedatang. Beberapa penemuan
seperti makam Fatimah binti Maimun (1082) di Jawa Timur, Makam Sultan Malik
as-Saleh (1297) di Sumatera, dan Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim (1492) di
Jawa Timur menambah keakuratan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara. Bahasa
yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam pada waktu itu adalah bahasa
Melayu Klasik yang lebih modern dari
bahasa Melayu Kuna pada zaman Hindu-Buddha. Bahasa Melayu Klasik banyak
mengambil kata serapan dari bahasa Arab dan aksara Arab karena pada masa itu para
pedagang yang menetap banyak yang berasal dari Arab dan mengajarkan ajaran
Islam dengan bahasa mereka.
Seiring berjalannya waktu, ketika bangsa asing seperti Portugis,
Belanda, dan Jepang yang mulai menjajah Indonesia, bahasa Melayu yang digunakan
mengalami modernisasi yang awalnya Melayu Klasik menjadi Melayu Modern karena
banyaknya kata serapan dari bahasa asing yang di pakai oleh bangsa penjajah, lama-kelamaan
bahasa Melayu Modern itu mengalami perubahan dalam struktur bahasanya yang
kemudian menjadi bahasa Indonesia seperti yang kita pakai sehari-hari.
Komentar