CERPEN: "Ditarik Waktu" (Part of "Hai, Ge.")

     Segelintir keluhan senja yang mulai menyingsing mewarnai lelahnya sore yang jingga, segerombolan angin menyerbu ketika ku naikan kecepatan motorku seperti di arena balapan. Masih saja kumemikirkan kejadian yang barusan terjadi disekolah disaat aku berusaha memfokuskan pikiranku kesatu arah. Lagi-lagi lampu merah menyegatku dijalan, kali ini aku memandangi seseorang perempuan paruh baya keluar dari sebuah warung kecil dipinggir jalan, dengan tertatih-tatih ia berusaha menggendong kembali barang bawaannya ke atas punggungnya. PING!!! Tiba-tiba aku dikejutkan oleh bunyi notifikasi hapeku yang kutaruh di kantung motor sebelah kiri. Belum sempat mengambil, aku sudah diserang oleh bunyi-bunyi yang lebih memekakan telinganku dan cukup membuatku panik, DINN! DIN!! Kutancapkan gas dengan menggumam “Nyoh nyoh pek-en kui jalanmu”*
*kutipan tersebut berbahasa jawa kasar yang artinya “Nih, nih ambil saja semua jalanmu”

     Debur pasir menghantam ban motor ketika aku melewatinya, laron dan angin malam yang dingin tak lupa menyapa ku ketika kulewati gapura perumahan yang baru setengah dibangun. Kukurangi kecepatan motorku lalu berhenti, sepi. Aku bertanya dalam hati, apakah aku melewatkan sesuatu? Mengapa rumahku begitu sepi seperti tak berpenghuni. Ketukan dan ucapan salam dijawab oleh kucingku yang berada didalam rumah, “Meoow”. Benar saja, mama dan kedua adikku tidak sedang berada dirumah. Aku baru ingat tadi belum sempat mengecek hape, siapa tau bunyi notifikasi tadi dari mamaku yang ingin memberi tahu sesuatu.

     “Mb mama sama abang beli martabak dulu dkt psr godean. Buka pintuny pke kunci yg mb Ge bawa dulu”

     Dugaanku tak salah, segera aku membuka pintu dan mengucapkan salam. Lalu, aku disambut hangat oleh  Zorro, kucingku, yang mulai manja berputar disekitar kakiku. Tapi tak ku hiraukan karena terlalu lelah mengurusi duniawi. Kulemparkan badanku menggelentang dikasur yang besarnya cukup untuk ditiduri tiga orang dengan motif sprei zig-zag putih hitam. Berniat untuk memejamkan mata lalu teringat sesuatu yang tadi kualami disekolah. Rasa lelah ini ternyata ampuh untuk membuatku menghiraukan sejenak rasa sakit hati didalam. Apa yang dikatakan Erdo ada benarnya, siapa sangka Erdo yang memiliki keperawakan kecil dengan wajah-wajah SMA-nya ternyata mampu membuat aku yang bisa dibilang sok bisa dalam hal menahan rasa suka dan perih lalu menangis tak berdaya dihadapannya seperti baru kehilangan sesuatu yang amat terlalu disayangkan.

     Aku menerobos lebih dalam ingatanku untuk mengingat tentang apa yang barusan terjadi, namun tak berhasil karena rasa lapar mulai menggangguku. Segera aku bangun dari magnet kehidupan, yaitu kasur dan beranjak pergi ke dapur. Kudapati sebungkus mie instan duduk sendiri dikeranjang besi menunggu waktunya tiba untuk disantap sang makhluk mamalia omnivora. Hmmmmm, tak ada yang bisa mengalahkan bau dari mie instan meskipun itu parfum termahal sekalipun.

     Aku duduk mengarah ke pemandangan desa sambil menyantap mie buatanku. Ingatan yang terjadi disekolah kembali menghantuiku dan berhasil menarikku kedalam rasa sakit hati yang sejak tadi hilang karena ditelan rasa lapar. Perasaanku mulai tak karuan, aku bisa merasakan Erdo sedang menatapku dihadapanku, membicarakan tentangnya, seseorang yang aku suka. Persis sekali ketika aku sedang makan bersama Erdo, lalu ia mulai membahas tentang hubunganku dengannya. Aku seperti ditarik oleh waktu, dan kembali disaat itu.

     “Gimana hubunganmu?” sambil tersenyum simpul Erdo melanjutkan mengunyah makanannya.

     “Aku tidak sedang ingin membahasnya” aku membalas sambil memutar-mutar brokoli disebuah piring yang masih dipenuhi nasi goreng.

     “Ada apa? Ceritalah, selagi kita masih selo”**
**2: selo dalam bahasa Indonesia berarti banyak waktu luang

     “Aku benar-benar tak ingin membahasnya, Do. Mengertilah aku sedang remuk hatinya.”

     “Kamu ini memang puitis, sok bisa menahan rasa sakit sendiri toh? Yasudah kalau begitu, padahal aku baru saja mau memberi tahu sebuah informasi yang akan membuatmu lebih sakit hati, Ge.” Tertawa puas, Erdo melanjutkan makannya yang tinggal lima suap lagi sudah habis.

     “Menyesal lah karena tidak memberi tahuku tentang info tersebut.” Aku tetap menatap hampa piringku yang sejak tadi masih penuh oleh nasi goreng.

     “Katanya tadi sedang tidak ingin membahasnya, hmmm bagaimana?” Erdo mulai memasang mata menarik yang mengajak tanganku untuk melayang tepat diwajahnya.

     “Yasudah kubagi rasa sakit hatiku, tapi kau janji setelah ini kau akan mengembalikan rasa bahagia ku kembali, Do.”

     “Bagaimana cara mengembalikan kebahagiaanmu jika sejak awal kuajak makan kau sudah merengut” Erdo merengut kesal

     “Setidaknya hiburlah aku setelah mendengar informasi mengerikan yang membawa pisau karena sudah siap untuk mengiris hatiku.”

     “Dasar anak sastra! Kalah deh kalo diajak debat” kata Erdo sambil mengangkat tangannya seperti sudah menyerah.

     Dengan rasa malas, aku membiarkan Erdo bercerita tentangnya, seseorang yang aku suka. Tidak ada rasa iba informasi yang diceritakan Erdo terus menyayat-nyayat perasaanku, sesekali membuatku percaya bahwa ia sedang benar-benar dalam dugaanku, sibuk. Perempuan mana yang kuat menahan rasa sakit ketika dihadapkan oleh kenyataan pahit yang menghujam perasaannya ketika ia berusaha untuk tidak memperdulikannya? Tak satupun.

     Air mataku kembali keluar dari tempat penampungannya. Erdo menghentikan ceritanya karena tidak tega melihat kesanggupanku sudah dibawah titik nol. Ya Tuhan, terimakasih telah menganugrahkan air mata untuk setiap umatmu. Kau menolongku dari cerita Erdo yang sangat menguras tabung kebahagiaanku.

     “Sudah, sudah, maafkan aku. Padahal masih tinggal sedikit lagi ceritanya selesai, sok bisa menghadapi ceritaku sih.”

     Aku hanya diam sambil mengusap air mataku. Lalu, Erdo melanjutkan obrolannya.

     “Yasudah, Ge. Maafkan aku ya, jangan terlalu dipikirkan. Sekarang aku antar kamu sampai depan gerbang sekolah, setelah itu kamu bisa pulang. Apa ingin kubelikan es krim dulu nih?”

     “Makasih, tapi aku ingin langsung pulang saja. Habiskan nih nasi gorengku, kau tak perlu mengantarku sampai depan, biar aku saja” sambil kusodorkan piring yang masih penuh nasi goreng kehadapan Erdo.

     “Pulang dulu ya!”

     Aku beranjak dari kursi berwarna merah tanpa senderan yang cukup membuat punggungku pegal, ah akhirnya. Sekali lagi aku menatap Erdo terpaku diam melihatku seperti sedang memikirkan sesuatu sambil kulanjutkan berjalan ke parkiran motor sekolah.

     “Hati-hati, Ge!” suara Erdo yang lantang memecah kebisingan kantin dan membuat ku menoleh dan tersenyum kearahnya. Tak heran suaranya lantang karena Erdo merupakan seorang koordinator supporter jika ada event disekolah sekaligus pernah menjadi pemimpin upacara. Spontan kulambaikan tangan bermaksud mengucapkan selamat tinggal.

     Diperjalanan menuju rumah, aku terus memikirkan apa yang barusan Erdo ceritakan kepadaku. Setengah percaya setengah tidak. Memikirkan kebenaran bahwa orang yang kusukai benar-benar sedang sibuk mengurusi sebuah event besar tahunan yang sebentar lagi diadakan.

     Aku selalu bertanya dalam hati, apakah kau tidak tahu aku sungguh menyukaimu? Apakah pernah aku terbesit dipikiranmu ketika kau sedang lelah dengan tugasmu? Apakah ada rasa bersalah ketika kau mengingat namaku? Mengapa kau begitu mempertahankan peranmu ketika didalamnya ada sepercik rasa keterpaksaan? Bagaimana bisa kau menghiraukanku padahal aku tahu kau sangat ingin bicara denganku seperti sebelumnya? Mengapa kau bersikap seolah tak ada aku? Siapa aku dimatamu, hingga sangat sulit kau lepaskan aku dijeratanmu? Bagaimana bisa kau tak tahu cara untuk meminta maaf kepada hati ini?

     Mengertilah aku sangat rindu dengan sosok kehadiranmu. Apakah kau tahu aku menyisihkan waktuku demi melihatmu agar rinduku hilang sejenak meskipun kau tak peduli dengan kehadiranku. Apakah kau tahu berapa kali aku menahan diri ketika aku tak sengaja berjumpa dengamu. Aku tahu kau juga menahan perasaanmu, berusaha kabur tapi kau sungguh tak tahu bagaimana cara untuk tidak melukai perasaanku, bukankah benar begitu? Maafkan aku, sungguh awal dan akhir yang sangat sulit untuk diterima.

     Tak sadar mie instan-ku sudah habis, tetapi aku masih menggigit ujung sendok yang terbuat dari stainlessteal sambil termenung memikirkan kebenaran-kebenaran yang masih membuatku ingin mencari jawaban akhir dari permasalahan ini. Lamunanku dibuyarkan oleh ketukan pintu rumah disertai salam, itu pasti mama dan adikku sudah kembali. Mama yang menggandeng aroma martabak telor kesukaanku dan martabak keju kesukaan adikku pergi ke dapur, lalu menyiapkannya untuk disantap. Nyammmm, ternyata perutku masih lapar.
____________________________________

Mohon maaf kepada para pembaca untuk tidak menggandakan semua karya saya tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin saya. Semua karya bisa memiliki hak cipta. Terimakasih atas pengertiannya.
Kritik dan saran silahkan tulis dikolom komentar atau kirim email ke saya (mutiahekarani@gmail.com) dengan [Subject: Kritik dan Saran]

Komentar

Unknown mengatakan…
Sangat mengena mut:"))
Unknown mengatakan…
Sangat mengena mut:"))

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Interview di Pizza Hut

Skenario film pendek tentang "Bullying" #1

Hai, Ge. [Part 7]